FFP.

Berpikir Sebagai 'Orang Luar'

Thu Jun 23 2022

Akhir-akhir ini saya suka membaca dan menyimak tentang design thinking. Saya juga sempat mendengar Podcast "Ngobrolin Startup & Teknologi with Imre Nagi" tentang Design Thinking; judulnya "Perubahan Sudut Pandang Tentang Desain". Singkatnya isi obrolan pada podcast tersebut adalah tentang journey seorang Product Designer dalam memahami hal-hal baru tentang Product Design selama karirnya. Nah, podcast tersebut membuat saya semakin tertarik untuk belajar tentang design thinking. Apalagi setelah si Product Designer menyinggung tentang Human Centered Design.

Setahun belakangan Saya sudah mengalami perubahan pandangan tentang apa itu desain. Bermula sejak membaca artikel dari @hallodesigners. Dulu yang saya pahami tentang desain adalah sesuatu yg terlihat indah, proporsional, atau aestetik. Ternyata saya salah. Itu adalah seni. Seni menciptakan keindahan dan aestetik. Kita menyebut profesinya dengan sebutan seniman. Tujuan seni adalah untuk menggugah emosi di dalam diri manusia, senang,sedih, atau marah. Sementera design menghasilkan spesifikasi, plan, untuk memecahkan masalah, atau membuat sesuatu bekerja lebih baik dari sebelumnya. Design is for people. Design di sini dapat berarti product atau layanan yang fungsional untuk manusia. Teman-teman bisa melihat penjelasan lebih dalam tentang apa desain itu sebenarnya, apa yang membedakan design dengan seni, dan engineering, dan lain-lain di sini dan di sini.

Design is for people adalah paradigma baru saya tentang desain. Design lebih dekat ke usability dibandingkan aesthetic walaupun dapat juga perpaduan keduanya, dengan "formula" yang "pas", hence, satisfying experience. Di Industri juga terjadi perubahan paradigma tentang bagaimana design membantu jalannya suatu bisnis. Sebelumnya desain dipandang sebagai "Make thing looks better". Sekarang design dipandang krusial karena dapat meningkatkan user engagement, hence, profit bagi perusahaan/organisasi. Perubahan paradigma tersebut membuat permintaan untuk skill product designer semakin meningkat.

Human-Centered Design sebagai pendekatan design produk secara definisi adalah sebuah metodologi pemecahan masalah dimana kebutuhan, dan nature manusia harus menjadi pedoman dari solusi yang diberikan. Untuk dapat menciptakan satisfying experience, solusi yang diberikan harus align dengan belief, behaviour,preferensi dan attitude pengguna.

Bagaimana caranya?

Pada Human Centered Design ada tahapan yang dari penjelasannya pun saya pikir memang sangat human centered sekali. Human Centered Design memiliki tahapan

  1. Emphatize
  2. Define
  3. Ideate
  4. Prototype, dan
  5. Test.

Nah, yang paling menarik dari tahapan-tahapan tersebut adalah adanya proses Emphatize. Saat saya belajar Analisis dan Desain Sistem Informasi, saya tidak menemukan istilah spesifik untuk Emphatize. Kami sebagai calon software engineer/analis sistem baru diajarkan untuk memahami masalah secara proses bisnis dan menerjemahkannya ke dalam spesifikasi solusi software saja. Namun HCD memiliki tahapan yang bersinggungan dengan emosi/perasaan pengguna. Pada proses Emphatize seorang designer diharuskan mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain untuk mengetahui apa yang mereka lihat dari sundut pandang mereka, untuk dapat merasakan apa yang mereka rasakan dan alami. Jika designer sudah mampu menyelami "perasaan" dari sudut pandang orang lain, kemungkinan besar designer dapat membuat solusi produk dan layanan yang dibuat akan mampu memberikan pengalaman menyenangkan, yang menyentuh perasaan.

Human-Centered Design dalam Pemerintahan. Bisa kah?

Ide tentang penerapan Human Centered Design dalam Service Delivery di pemerintahan. Dalam bayangan Saya Human Centered Design akan bisa meningkatkan kualitas layanan pemerintahan. Apalagi peran pemerintah dalam sebuah negara adalah untuk memberikan pelayanan yang prima terhadap kebutuhan masyarakat. Layanan pemerintah harusnya bisa memberikan "satisfying experience" terhadap penggunanya. Alih-alih hanya 'yang penting' sesuai peraturan dan perundang-undangan, alias sekadar 'ada' saja. Pemerintah harus bisa move-forward dari hanya sekedar produce artifact, menjadi creating experience, a good ones. Menurut orang ilmu hukum pada dasarnya peraturan perundang-undangan sendiri adalah untuk kepentingan masyarakat. Berarti produk dan layanan apapun dari pemerintah harus lah yang humanis, yang dapat menciptakan pengalaman yang baik untuk masyarakat.

Setelah melakukan sedikit research, ternyata beberapa pemerintahan negara sudah menerapkan Human Centered Design pada produk atau layanan mereka. Contohnya Single Digital Presence pemerintah Victoria Australia. Beberapa case study lain bisa dilihat di sini.

Perubahan mindset top to bottom insan ASN di instansi pemerintah sangat diperlukan untuk bisa mengadopsi Human-Centered Design di Pemerintahan Indonesia. Penggunaan instrumen Reformasi Birokrasi yang dibuat KemenpanRB untuk mentransformasi tatalaksana pemerintah saat ini baru mampu memaksa instansi pemerintah untuk produce artifact , belum sampai memaksa produce experience. Perubahan harus mulai dari sebagian besar individual, dan mencoba menjadi orang di luar pemerintahan kemudian mencoba merasakan apa yang masyarakat harapkan dari layanan yang diberikan.